(Edisi Ramadhan) — Ramdhan adalah bulan suci umat Islam yang penuh rahmat dan ampunan. Di dalamnya tersimpan ajaran-ajaran adiluhung untuk melatih diri dan penyucian jiwa (riyadhatun nafs wa tazkiyatun nafs). Artinya, Ramadhan bukanlah “bulan kosong”, yang tidak bisa kita raih apa pun di dalamnya, namun tersimpan banyak faidah dan pelajaran. Karena itu, sangat rugi orang-orang yang menjumpainya, namun tidak bisa mendapatkan apa-apa di dalamnya.
Salah satu faidah yang bisa diraih di bulan Ramadhan adalah melalui puasa. Dengan berpuasa, kita semua memiliki hubungan yang sangat privat dengan Allah swt, berbeda dengan ibadah-ibadah lain pada umumnya. Karena itu, puasa menjadi satu-satunya ritual ibadah yang mendapatkan balasan langsung dari-Nya secara sangat spesial. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Rasulullah saw dalam hadits qudsi:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ فَهُوَ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ إِنَّمَا يَتْرُكُ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ مِنْ أَجْلِي
Artinya, “Semua amal ibadah manusia adalah untuknya kecuali puasa, karena puasa hanya untuk-Ku (Allah), dan Aku-lah yang akan langsung membalasnya. Ia meninggalkan makan dan minumnya semata untuk-Ku.” (HR Al-Bukhari dan Ahmad).
Berdasarkan hadits ini, Syekh Abul Hasan Al-Mubarakfuri mengatakan bahwa puasa merupakan ibadah privat yang hanya diketahui oleh Allah swt dan orang yang menjalaninya semata. Karena itu, puasa menjadi satu-satunya ibadah yang paling minim bercampur dengan sifat riya (ingin dipuji), sebab dimensi puasa adalah niat dalam hati, bukan gerakan anggota badan sebagaimana ibadah lainnya. (Syekh Abul Hasan, Mir’atul Mafatih Syarhu Misykatil Mashabih, [Beirut, DKI], juz VI, halaman 406).